Perempuan-perempuan Indonesia dalam Perkembangan Sastra Modern

14 September 2025In ArtikelBy Admin 2

Perempuan di Indonesia punya peran penting dalam perkembangan sastra modern. Jejak mereka udah ada sejak awal abad ke-20 dan terus berkembang hingga hari ini. Mereka bukan cuma nulis, tapi juga jadi suara bagi isu-isu sosial, politik, dan pengalaman personal yang jarang diangkat sebelumnya.


Perempuan Pelopor di Awal Abad ke-20

Pada masa-masa awal, nulis buat perempuan masih dianggap tabu. Namun, beberapa dari mereka berani mendobrak tradisi. Contohnya, ada Rohana Kudus, jurnalis perempuan pertama di Indonesia yang mendirikan surat kabar Soenting Melajoe pada 1912. Meskipun ngga sepenuhnya berfokus pada sastra, karyanya membuka jalan bagi perempuan lain untuk bersuara lewat tulisan.

Lalu ada Selasih (Sei) atau nama aslinya Sariamin Ismail, yang sering dianggap sebagai novelis perempuan pertama di Indonesia. Karyanya yang terkenal, “Kalau Tak Untung” (1933), menggambarkan penderitaan perempuan dalam perkawinan paksa. Karya Selasih ini jadi tonggak penting yang menunjukkan bahwa perempuan juga bisa jadi pengarang serius yang menyoroti isu-isu mendalam.


Sastrawan Perempuan di Era 60-an dan 70-an

Era 60-an dan 70-an membawa angin segar dengan munculnya sastrawan perempuan yang lebih berani. Salah satu yang paling menonjol adalah Toety Heraty yang karyanya banyak membahas tentang eksistensialisme dan hak-hak perempuan. Puisi-puisinya sering kali merenungkan posisi perempuan dalam masyarakat yang patriarkal.

Selain itu, ada juga Nh. Dini yang karyanya dikenal karena keberaniannya menggambarkan pengalaman pribadi perempuan, termasuk soal seksualitas dan pergulatan hidup. Novel-novelnya, seperti “Pada Sebuah Kapal” (1972), jadi favorit banyak pembaca karena kejujuran dan keberaniannya. Ia membuka jalan buat sastrawan perempuan lain untuk menulis dengan lebih bebas.


Perkembangan Sastra Perempuan di Era Kontemporer

Sejak tahun 90-an hingga hari ini, jumlah sastrawan perempuan terus bertambah. Muncul nama-nama baru yang karyanya makin beragam. Ayu Utami, misalnya, lewat novel “Saman” (1998), berhasil menggemparkan dunia sastra Indonesia. Novelnya ini ngga cuma berani membahas seksualitas, tapi juga isu-isu politik, agama, dan feminisme. “Saman” dianggap sebagai simbol kebangkitan sastra Indonesia modern yang lebih berani dan terbuka.

Selain Ayu Utami, ada juga Dewi Lestari (Dee) yang karyanya sering menggabungkan sains, spiritualitas, dan fantasi, contohnya dalam seri “Supernova”. Ada juga Okky Madasari yang lewat novel-novelnya kritis menyoroti masalah politik dan sosial, seperti dalam “Maryam”.

Jejak sastrawan perempuan di Indonesia membuktikan bahwa tulisan mereka bukan cuma sekadar hiburan, tapi juga cermin dari perubahan sosial, perjuangan, dan suara yang selama ini terpinggirkan. Mereka telah mengubah wajah sastra Indonesia menjadi lebih kaya, inklusif, dan relevan.